Mint

Di sudut ruangan itu. Di ruangan dengan warna dan aroma mint. Rak-rak buku yang rajin kau rapihkan hingga debu enggan berlama-lama singgah. Dua buah bingkai dengan foto terbaru. Sepasang vas yang selalu segar di samping jendela.

Aku memandangmu yang tengah khidmat menulis di laptop merah jambu kesayanganmu. Beberapa buku menemani kulihat dari balik kiri bahu. Satu kakimu kau lipat naik di kursi. Lainnya menggantung bebas kau biarkan. Posisi kesukaanmu.

Kau pasti tak mendengar suara kunci dan pintu kubuka.  Atau salam yang kuucapkan tidak terlalu keras. Suara sepatu dan tas yang kuletakkan sembarang (kau akan kesal begitu mengetahuinya).

Bahkan kau tak sadar ketika kuambil air dari dispenser dengan aksesoris renda buatan bibimu. Apalah. Kuobati sendiri dahagaku dengan 4,5 teguk air dingin.

Sepasang earphone memisahkan kau sejenak dengan dimensi yang kini kuhuni bersama sekira 6 milyar manusia lainnya. Ah, bukan. Bukan earphone-nya. Pasti alunan The Corrs-nya.

Meski yang kudengar hanya ketukan ritmis tuts keyboard yang kau mainkan, aku yakin kau tengah menyimak band favoritmu sejak dulu itu. Andai aku meleset, pasti kau tengah memutar berulang-ulang ‘victory’ milik BOND. Begitu caramu membuat lesatan ide yang datang diikat satu per satu. Disusun dan ditata dengan manisnya oleh jari-jarimu yang lentik.

Setelah selesai, kau akan memintaku untuk membacanya sambil setengah rela. Karena, kalau aku terlalu banyak berkomentar, kau akan ngambek. Kalau aku tak berkomentar, kau akan marah. Ah. Lalu aku harus memasak sesuatu untukmu agar kita bisa berdamai kembali.

Aku memandangmu yang tampak tak terganggu dengan keberadaanku. Dahagaku memang sudah lenyap, tapi aku masih kehausan. Kali ini bukan air, sayang, yang bisa menjadi tombo.

Mint. Kau tahu aku suka sekali aroma itu. Dan nampaknya kau pun menyukainya. Entah sejak kapan. Lalu kau setuju kita tanam beberapa di dalam rumah. Kita tumbuhkan sebisanya. Kita jaga semampunya.

Kuajarkan kau bagaimana cara mengeluarkan aroma mint. Kita taruh daunnya di telapak tangan. Lalu, dengan ibu jarimu kau gerus daun itu perlahan. Dan mint akan melahirkan harum yang menyegarkan. Relaks, tapi berenergi.

Kali ini tentu earphone-mu tak akan sanggup mencegah kau kembali ke dimensi yang sama denganku. Karena ia tak menjangkau indra penciumanmu.

Lihatlah, kudengar hidungmu mendengus. Kau mulai mencium aroma mint yang menguat serentak. Gerakan jarimu melambat dan kemudian berhenti. Kakimu yang terlipat di kursi kau turunkan. Aku memasang pose dan senyum terbaik yang kupunya. Sebab, seperti yang kuduga, kau akan berbalik dan mendapatiku berdiri di sini.

Sayang, kau tahu apa menyingkirkan hausku kini? Senyum dan pelukan tubuhmu yang dibalut mint.

Kekeliruan yang Menggerakkan

Kau protes ketika aku keliru menyebut namamu. Kaget. Bukan soal kau tegur aku karena penyebutan nama yang salah. Toh, aku juga sering melakukannya. Orang-orang pun sering serampangan mengucapkan atau menuliskan namaku. Saya terhenyak, karena menyadari selama ini saya ndak ngeh kalau keliru.

Terberkatilah orang yang salah ketika belajar.. 🙂

Lantaran namamu yang unik itu, aku sempat Continue reading Kekeliruan yang Menggerakkan

Writing, Teaching, Travelling; Running…

Setelah kalah dalam sebuah pertarungan politik, kami berkumpul mengelilinginya. Bukan, bukan untuk menawarkan simpati. Ia tidak memerlukannya. Sebagai kawan, kami hanya berupaya mengisi waktunya dengan sedikit keceriaan, kebersamaan. Sesekali, coba menyelipkan alternatif.

Kami cukup hapal, ia bukan bentuk orang yang suka meratapi perkara. Percuma bersedih atas sebuah kesalahan di depannya. Ia progressif, senang bergerak dan bergerak. Malam ini, meski terlihat lebih banyak diam, pikirannya kami yakini berputar terus.

Sejak kami berkumpul lepas maghrib tadi, belum ada yang mendahului menyinggung maksud pertemuan ini. Berarti sudah 2 jam berlalu. Sudah banyak cerita lama kami tertawakan bersama lagi. Kami saling berisyarat. Seseorang akhirnya mencoba menukik ke dalam kepalanya.

“Mungkin, hikmahnya sekarang kamu bisa menekuni kegiatan yang lain. Sementara waktu, sambil menunggu momen berikutnya.”

Rekasi pertamanya hanya tersenyum. Sambil menyesap kopi hitamnya, ia Continue reading Writing, Teaching, Travelling; Running…

Cantik

“Semua perempuan cantik sudah menikah.”

Entah dimana saya pernah mencuri dengar atau numpang baca kalimat itu. Awalnya saya berpikir, itu bisa menambah koleksi jawaban yang cukup bagus kalau ada yang mulai menggoda saya lagi dengan pertanyaan soal nikah-menikah, kawin-mengawin, pasang-memasang. Untungnya, yang bertanya kepada saya mayoritas gadis-yang-sudah-bersuami. Lebih banyak yang tersipu tinimbang yang tersinggung.

Tapi, tentu saja sipuan itu hanya sesaat dan tidak menghentikan misi mereka memeriksa dan mengorek keterangan saya. Masih dengan rona merah jambu di pipi, biasanya mereka langsung menaikkan derajat sifat keibuannya. Dengan segala kedewasaan mereka yang saya bisa cerna, mereka terlihat berupaya membantah (meski saya tahu mereka keras mengamininya) dan menasehati agar saya tidak putus asa. Lalu tersenyum, atau menepuk pundak, atau menyentuh lengan, dan melenggang. Masih dengan sisa rona merah di pipinya.

Dalam situasi dimana Continue reading Cantik

Manis

Di depan jembatan. Kau menjegal langkahku dengan ujaran.

“Mulanya aku pikir kamu itu manis. Lama-lama kamu terdengar selalu sinis. Lalu kusadari kau ternyata sarkastis.”

Hening.

“….Awalnya aku kira dirimu bilang begitu sebagai bentuk sarkasme. Lalu kurasa mungkin cuma sinis. Tapi, akhirnya ku pikir itu manis.”

Aku meniti jembatan. Kau pulang. Melalui jalan lain.

Adil

Kita bincang-bicang sebentar soal keadilan ya. Kata yang akhir-akhir ini diteriakkan (lagi) seakan-akan ia hilang, bersembunyi, atau disimpan diam-diam oleh seseorang.

Tapi, sebentar dan sedikit saja ya. Sebab, tadi malam saya coba obrolkan lama-lama dengan kawan se-per-kopi-an, kopi kami jadi masam rasanya. Lambung pun bergolak, ubun-ubun jadi pedih. Mata kami makin basah setiap lapis kulit keadilan kami kupas…

Keadilan itu macam-macam diistilahkan. Saya belum bisa memastikan filsuf yunani mana persisnya yang bilang, Socrates kah, Plato, atau yang banyak disebut-sebut; ‘si bungsu’ Aristoteles. Ada keadilan komutatif, ada keadilan distributif. Plato juga disebut-sebut membuat kategori tentang keadilan. Ia bedakan keadilan moral dengan keadilan prosedural.

Sebelum saya terlalu Continue reading Adil

Belajar Matematika Semesta

Hening. Dia menatapku beberapa jenak, aku dan ego-ku yang bertanya, sore itu…

“Zain tahu kalkulus?”

Ah, retoris.

Dia sudah tahu jawabannya. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, aku yakin dia pun masih ingat pernah dengan emosinya membuatku tertunduk semakin malu. Dia mendapati nilai nol untuk ulangan matematika-ku di caturwulan 1 tahun 1999.

“Kamu jangan malu-maluin orang serang, nal. Kakak(kelas)-mu ini menang olimpiade matematika. Masa kamu dapat ulangan nol,” begitu ceramahnya di depan teman-teman seangkatanku dulu. Sebagian dengan nada humor, sebagian besarnya lagi serius.

Dan dia memang tak perlu menunggu jawabanku. Dia hanya menarik nafas sebelum meneruskan penjelasannya. Penjelasan atas jawaban dari sekian pertanyaanku sore itu.

“Dalam kalkulus dasar, dikenal bahasan tentang dunia bilangan. Dan Zain tahu, sebetulnya dalam dunia bilangan, hanya dikenal satu jenis bilangan saja; bilangan kompleks,” tuturnya. Perlahan, seperti menjelaskan rumus kepada anak SD.

Terus terang saja, meski aku sudah berstatus mahasiswa semester 3, tak pernah terlintas dalam benakku pengetahuan itu. Tapi, sekedar menghormati dia yang datang berkunjung dari jauh dan mau bersedia menjawab pertanyaanku, aku angguk-anggukkan kepala. Terlihat serius menyimak, memahami, dan terus terang, menutupi egoku yang terluka.

Untungnya, dia juga lebih tertarik melanjutkan penuturannya daripada memverifikasi pemahamanku.

“Bilangan kompleks itu sendiri dibagi menjadi dua; bilangan riil dan bilangan imajiner. Nah, yang disebut bilangan riil itu adalah bilangan yang bisa dikenakan sistem operasi matematika; penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan seterusnya. Atau Zain juga bisa bilang, bilangan riil itu menyatakan bilangan yang bisa dituliskan dalam bentuk desimal. Seperti 2,4871773339… atau 3.25678.”

Tangannya bergerak-gerak seperti seorang konduktor. Mengurai sesuatu dengan ketukan harmonis.

“Bilangan riil dibagi lagi menjadi bilangan rasional dan bilangan irasional. Bilangan rasional adalah bilangan yang bisa dibagi, dinyatakan sebagai a/b. Contohnya seperti bilangan cacah, prima, asli, dll. Sedangkan bilangan irasional adalah bilangan yang tidak bisa dikenakan pembagian karena hasil baginya tidak pernah berhenti; misalnya akar 2 dst. Atau yang paling populer  π (phi).”

Aku masih memegang tangan kananku kuat-kuat. Mencegahnya menggaruk bagian belakang kepalaku. Aku tak mau dia menangkap isyarat jika aku mulai kebingungan atau kehilangan konsentrasi.

“Zain paham nggak sampai sini?”

Dia tahu aku mungkin masih kesulitan mencerna uraian dan terutama kaitan antara pertanyaanku dengan berbagai teori matematika yang dia bilang. Wajar saja, bisa terlihat dari jumlah kerutan di keningku yang semakin banyak.

Ego-ku sudah berdarah.

“Lanjut aja, Kang.” Dia merubah duduk. Mencari posisi yang lebih nyaman.

“Selain bilangan riil tadi, ada yang namanya bilangan imajiner. Bilangan imajiner itu tidak dikenal akal tapi eksis dalam dunia bilangan. Misalnya akar -1, dst. Kita nggak ngerti akar minus -1 itu berapa atau apa. Tapi dia ada dan dipakai dalam dunia bilangan. Untuk mengenali atau mengoperasionalkannya kita menggunakan pendefinisian. Misalnya Zain kasih dia definisi atau simbol (i).”

Aku masih mengangguk-angguk. Berusaha keras membuat ilustrasi di otak supaya bisa mengerti. Membuat yang rumit menjadi sederhana, untuk otakku.

“Nah, begitu juga hidup, Zain. Katakanlah hidup kita ini adalah bilangan kompleks yang terdiri dari dunia riil dan imajiner. Dalam dunia riil, kita tahu ada yang berjalan dengan hukum umum, yang kita bilang masuk akal. Misalnya api padam oleh air, jika kita menambahkan massa sebuah benda maka volumenya juga bertambah, ovum bertemu dengan sperma akan menumbuhkan benih dan janin, jika manusia tidak makan akan lemas, dan seterusnya.”

“Dalam hidup, ada juga yang tidak bisa kita cerna secara akal. Atau butuh ‘kalkulasi’ hati untuk lebih bisa memahaminya. Cinta misalnya, seringkali irasional, bukan? Yang kaya jatuh hati pada si miskin. Anak atasan terpikat kepada anak bawahan. Yang lebih muda jatuh cinta pada yang umurnya jauh di atasnya. Ada pula yang rela mengorbankan waktu, harta, bahkan nyawa untuk orang yang begitu dicintainya. Atau ada yang terus-menerus disakiti tapi tetap mencintai orang yang menyakitinya. Dan kita tak pernah habis pikir mengapa cinta seperti itu.Tapi, kita tetap bisa memahaminya dengan hati..”

“Tidak sekedar rasional atau irasional, ada yang lebih melampaui itu semua. Dan terkadang pendekatan akal maupun hati tidak bisa menggapainya. Karena pikiran dan perasaan manusia tidak bisa mengukur dan memahaminya, maka untuk menerima itu sebagai bagian dari hidup, kita ‘mendefinisikannya’, memberinya symbol/tanda. Lazimnya tanda (i) itu yang biasa kita bahasakan dengan: IMAN.”

Nafasnya kini memanjang. Sedangkan aku kesulitan bernafas.

“Akang belum menjawab pertanyaan saya. Jadi, apakah hidup itu adil? Ada yang miskin, ada yang kaya. Orang baik jadi pesakitan, sedang yang jahat hidup enak-enakan. Malah al-Quran saja ada membedakan antara satu kaum dengan kaum lainnya; ada yang begitu dikutuk dan distempel musuh, sementara juga mereka Allah ciptakan. Bukankah itu tidak adil? ”

Dia mulai tersenyum.

“Sebelum jawab Zain, saya ingin membagi pertanyaannya jadi dua; tentang hidup dan tentang adil. Pertama, hidup berkaitan dengan penciptaan. Kita hanya bisa paham dengan logika kita yang terbatas ini bahwa hidup ini tidak bisa ada dengan sendirinya. Ada penciptaan. Kita pun bertanya: siapa penciptanya? untuk apa ada penciptaan?”

“Untungnya pencipta kita berkomunikasi dengan kita sehingga pertanyaan-pertanyaan itu bisa kita jawab. Dia berkomunikasi melalui petunjuk-petunjuk dan bahasa yang bisa manusia mengerti. Sampai-sampai Tuhan pun menurunkan utusannya untuk membantu kita mendapatkan penjelasan.. Ada yang kemudian percaya karena menggunakan akal sehatnya. Ada yang memilih menuruti kecenderungan hawa nafsunya dan tidak mendengarkan atau mengindahkan petunjuk-petunjuk Tuhan itu.”

“Setelah manusia percaya dan menerima petunjuk itu, kita menggunakannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena akhirnya kita memahami bahwa hidup itu ibarat misi. Ada maksud dan tujuan dari penciptaan itu dan kita bagian dari scenario tersebut. Kita memakai petunjuk-petunjuk itu sebagai peta yang akan mengantarkan kita kepada tempat tujuan yang dijanjikan.”

“Biasanya kita menggugat hidup karena merasa kehidupan ini tidak adil. Zain menggugat Allah karena Dia dianggap tidak adil. Sekarang saya tanya, Zain tahu berapa ukuran adil-nya Allah?”

Diam.

“Karena kita tidak tahu ukuran adil-nya Allah, maka kita menggunakan Maha Adil. Karena kita tidak tahu ukuran cerdas-nya Allah, maka kita menggunakan Maha Cerdas. Berbeda dengan kita atau computer paling canggih sekalipun di dunia ini yang selalu punya limit. Sedang Allah ada dalam infinity, ketidakterbatasan.”

“Pernah ada yang iseng menanyakan kepada saya; jika Allah itu Maha Besar, dan Allah juga Maha Kuasa, sekarang kuasakah Allah menciptakan sesuatu yang lebih besar darinya?”

Aku juga pernah menemukan pertanyaan itu.

“Kita tidak tahu seberapa besarnya Allah atau seberapa berkuasanya Allah. Jadi pertanyaan itu sama dengan misalnya kita menjumlahkan bilangan infinity dengan bilangan infinity. Jelas itu adalah pertanyaan yang tidak pantas dan tidak cerdas, yang menunjukkan kualitas intelektual seseorang.”

“Zain, Dunia (kehidupan) ada dalam rentang/interval tertentu (terukur). Sedangkan dunia tuhan ada dalam infinity (ketakterhinggaan) yang tak terukur dan tak terbatas. Kita mengatakan adil atau tidak adil dengan ‘ukuran’ indera kita yang serba lemah dan kekurangan. Tentu saja objektifitasnya sesuai dengan alat ukur yang kita pakai. Menilai Allah dengan alat ukur itu, tentu juga bukan sesuatu yang adil, bukan sesuatu yang pada tempatnya.”

***

Kami mengelilingi stadion pakuan sore itu. Dan perbincangan berlanjut dengan tema-tema yang lebih ringan dan gampang dicerna.

Sore itu, entahlah, kakiku terasa lebih ringan melangkah. Genangan yang ditinggalkan hujan tidak menyurutkan semangatku menemaninya yang minta ‘jalan-jalan keliling unpad.’ Sepanjang sore itu, aku seperti berjalan di depan horizon yang baru. Memandangi landscape yang terasa berbeda.

Aku tidak khawatir, apakah alam akan mengajarkan aku hal baru; yang dapat merubah lagi keyakinanku akan hidup seperti yang aku miliki saat ini. Yang pasti, hidup ini adil. Allah Maha Adil.

Di waktu yang lain, aku akan dapat cerita tentang takdir yang jawabannya adalah sesederhana ini: “kamu tidak akan ditanya kenapa kamu sakit, tapi akan ditanya kenapa kamu tidak mengingat Allah..”

***Diceritakan dan dibahasa-ulangkan kembali oleh pandir dengan awwam. Mohon koreksi jika ada yang keliru…