Writing, Teaching, Travelling; Running…

Setelah kalah dalam sebuah pertarungan politik, kami berkumpul mengelilinginya. Bukan, bukan untuk menawarkan simpati. Ia tidak memerlukannya. Sebagai kawan, kami hanya berupaya mengisi waktunya dengan sedikit keceriaan, kebersamaan. Sesekali, coba menyelipkan alternatif.

Kami cukup hapal, ia bukan bentuk orang yang suka meratapi perkara. Percuma bersedih atas sebuah kesalahan di depannya. Ia progressif, senang bergerak dan bergerak. Malam ini, meski terlihat lebih banyak diam, pikirannya kami yakini berputar terus.

Sejak kami berkumpul lepas maghrib tadi, belum ada yang mendahului menyinggung maksud pertemuan ini. Berarti sudah 2 jam berlalu. Sudah banyak cerita lama kami tertawakan bersama lagi. Kami saling berisyarat. Seseorang akhirnya mencoba menukik ke dalam kepalanya.

“Mungkin, hikmahnya sekarang kamu bisa menekuni kegiatan yang lain. Sementara waktu, sambil menunggu momen berikutnya.”

Rekasi pertamanya hanya tersenyum. Sambil menyesap kopi hitamnya, ia memandang salah seorang di antara kami yang memberi usul. “Haha.. Apa misalnya?”

“Kamu bisa menulis pengalamanmu di pertarungan kemarin. Tema seperti itu kan belum banyak diangkat. Dengan makin tingginya animo orang-orang, akan makin banyak juga yang perlu informasi atau sekedar cerita bagaimana dinamika dunia itu, seluk-beluknya, hitam-merahnya.”

“Oh, ya?”

“Ya, kenapa tidak? Aku juga yakin banyak hal menarik yang bisa kamu ceritakan.”

“Kukira itu usul bagus. Atau, kamu juga bisa kembali ke kampus, bukan? Mengajar lagi. Mengajari bagaimana anak-anak muda melihat dunia dengan pemikiranmu itu.” Satu diantara kami yang lain ikut menyumbang saran. Kami hanya tertawa garing.

Ia menatap dengan serius.

“Saranku, kamu coba travelling. Jalan-jalan. Keliling Indonesia, kek. Dunia, kek. Cari inspirasi. Siapa tahu dapat ide yang lebih bagus buat kesempatan berikutnya.” Makin banyak yang tertarik memberi masukan.

“Ya, refreshing, lah.” Yang lain cuma mampu menegaskan. Tak menambah apa-apa.

Semua ditanggapinya dengan anggukan. Kami ganti menatapnya bersama-sama. Sebagian besar ingin tahu apa jawabannya. Sebagian yang lain mungkin masih berpikir ingin kasih saran apa yang mungkin berguna.

Satu tahun terakhir, ia memang mengerahkan nyaris seluruh energinya untuk pertarungan politik yang baru saja usai. Belum dihitung, berapa sumber daya yang ia habiskan. Hasil jerih bertahun-tahun ia ‘pertaruhkan’ dalam satu putaran ronde yang lalu. Tidak ada yang bisa secara akurat menggambarkan perasaan atau pikirannya. Pun, tidak ada yang bisa menjamin mampu menghiburnya dari ‘kekalahan’ yang baru saja dialaminya.

Ini pertarungan perdananya. Sejak mengambil keputusan untuk terjun ke dunia politik, ia tidak memerlukan waktu lama untuk melangkah ke arena pertarungan. Ketika tekadnya itu ia ceritakan kepada kami, tidak ada yang dapat melarangnya, apalagi membatalkannya. Jauh hari, diskusi-diksusi kami perlahan membentuk kerangka berpikir yang sama dalam menafsirkan apa yang terjadi di sekitar kami. Termasuk soal makna pilihan atau jalan-jalan yang dapat ditempuh untuk mencoba menabur kebaikan.

Kami sadar, setiap kami memiliki hak untuk menentukan pilihan. Selama argumennya dapat kami cerna, tak sulit sebenarnya. Kami menaruh kepercayaan terhadap setiap putusan. Tugas terberat sebetulnya ketika harus mengingatkan siapapun diantara kami soal mimpi yang pernah kami bangun bersama, ketika dirasakan oleh sebagian besar diantara kami mulai ada yang melenceng. Itu sudah pernah terjadi. Rasanya waktu itu kebersamaan kami berada di tubir. Nyaris bubar. Untunglah, kami semua sadar, nyaris hanya kebersamaan ini yang kami miliki untuk saling mengingatkan.

“Terima kasih, teman-teman. Aku berniat untuk terus bertarung. Aku belum berpikir kalah. Setidaknya, aku berpikir masih ada yang bisa diupayakan.” Ia menjeda diri karena nada penerima pesan di telpon genggamnya berbunyi.

Setelah selesai membalas pesan dengan singkat, ia meneruskan “Ibaratnya, janur kuning belum lagi melengkung. Masih ada kesempatan.”

Kami mencoba menebak arah berpikirnya.

“Menulis, mengajar, jalan-jalan, menurutku semua hanya pelarian. Aku belum menyerah. Aku masih punya peluang dalam pertarungan ini. Aku akan terus coba perjuangkan.”

Satu-dua orang merebahkan punggung di sandaran kursi. Hembusan nafas berbaur asap rokok salah seorang menyesaki beranda tempat kami bercakap. Beberapa meneguk sisa kopi dalam gelas. Sedikit ampas ikut tertelan, pahit.

Semua orang kini masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.

Published by

Zain

An Anomalist

Leave a comment