Hoho

Sampai diskusi terakhir kami malam ini, aku katakan padanya bahwa aku belum sepenuhnya ikhlas dengan putusannya pindak ke daerah. Namun, aku tahu–dan masih kecewa berat karena–aku ndak akan bisa mencegahnya lagi. Yang sedikit membuat ringan hati, sehafalku, dia bukan profil yang mengambil keputusan tanpa menimbangnya dengan amat baik. Aku percaya, pasalnya pasti sudah sangat kuat.

Dia memang akhirnya menceritakan alasan di balik kepindahannya. Beberapa poinnya dia ulang dari percapakan kami dulu ketika pertama kutahu dia punya rencana pindah. Pada gilirannya, seperti beberapa hal yang juga jamak kami obrolkan, kami ndak mesti selalu setuju. Kami juga bisa sepakat untuk ndak sepakat. Meski, sekali lagi, itu ndak melunturkan rasa hormatku padanya.

Seperti banyak petang atau malam yang kami (atau tepatnya aku ‘memaksa’nya tinggal lebih lama untuk) habiskan jika kebetulan kami sama-sama pulang agak larut, kami nikmati lagi petang hingga malam ini di ruangannya untuk diskusi atau ngobrol dan bercanda tentang banyak hal. Tentunya sehabis dia selesai melayani teman-teman lain yang sendiri atau berkelompok mengekspresikan kegundahan mereka. Ya, pastinya aku bukan satu-satunya di kantor ini yang akan merasakan kehilangan.

Dibanding hal lainnya, mungkin aku akan paling merindukan momen-momen bertukar pikiran dengannya itu…

Terus terang, obrolan petang ini kuniatkan aji mumpung–selagi dia masih di sini dan bisa kuajak bicara tentang banyak hal. Kami sudah biasa bincangkan apa saja, mulai substansi laporan yang ndak kupahami, soal dinamika di kantor, soal politik, iman, cita-cita dan mimpi, keluarga, curhatku soal calon pasangan, sampai soal info kredit tanpa angsuran, eh agunan. Selagi kubuat catatan malam ini, aku sedikit menyesal mengapa aku tak ganti topik saja dibanding cuma bicara soal kantor. Aku yakin masih banyak ihwal yang bisa kupelajari dan ilmu yang bisa kusesap darinya. Mumpung..

Sampai aku mengantarnya sendiri ke lobi, dan taksi yang ia gunakan untuk pulang serta mengangkut barang-barang pribadinya datang, aku masih ragu harus mengucapkan apa. Akhirnya, hanya doa dan salam biasa saja. Dan berharap sungguh-sungguh suatu saat bisa mengulang momen bersamanya bercerita tentang perkara apa saja. Entah kapan. Dalam waktu tak terlalu lama, semoga.

***

Kalau ada yang sedikit pantas kulakukan buat menunjukkan rasa hormatku padanya, barangkali adalah ukiran kecil di blog ndak terkenal ini. Sekedar pengingat untuk sosok yang sederhana, cerdas, punya memori yang hebat, perhatian dengan detail, mudah bergaul ke atas-samping-bawah-depan-belakang, terbuka, solider, dan konsisten.

Sejak hari pertama aku berkenalan dengannya sebagai senior sekaligus ketua tim-ku 3 tahun yang lalu, nyaris tak ada kata buruk yang bisa kulekatkan buatnya. Boleh dibilang, sumur inspirasi terbesarku di tempat ini adalah dia. Sampai aku ndak berani bertaruh, apakah jika ndak ada dia aku bisa bertahan lebih lama di sini. Sebab sangat mungkin jawabannya adalah tidak.

Sebetulnya aku takut berlebihan juga membuat catatan tentangnya. Dia pasti ndak akan suka itu. Tapi menyederhanakannya memang ndak mudah. Lagipula, catatan ini juga mustahil bisa menggambarkannya dengan ideal. Satu, karena keterbatasan penulisnya. Dua, sebab tentu saja dia pun bukan sosok sempurna.

Darinya, paling istimewa barangkali adalah soal keteguhan. Aku menghargai betul konsistensi. Dan dia adalah model dan teladan soal itu. Untungnya, hematku, konsistensinya ada di jalur yang tepat.

Dia konsisten untuk taat kepada prinsip, mengedepankan akal, teliti, dan yang ndak kalah penting, tak menomor-satukan soal materi. Sulit menyamai atau bahkan mencari padanan untuk kualitas yang dimilikinya itu. Ketika yang lain–termasuk diriku–masih berupaya mencari celah, dia akan tegas menolak atau mengatakan tidak. Ketika yang lain berupaya banter, dia teguh untuk mengawal derajat nilai substansi tanpa mengesampingkan kecepatan. Ketika yang lain sungkan, dia berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang santun dan terjaga. Untuk argumen itulah orang banyak menghormatinya. Untuk dalih itulah aku salut dan takzim padanya.

Semua hal itu membedakan dirinya dengan yang lain, dengan kami, dengan aku. Dia menjadi langka karena memang sukar sekali mencari sosok dengan kaliber seperti itu akhir-akhir ini.

Kecerdasannya dan daya ingatnya juga mengagumkan. Dia mampu menampung banyak soal lalu menemukan jawaban dan respons dengan amat baik. Ihwal dengan berbagai variasi rumpun bidang ndak menjadikan analisisnya tumpul atau tajam hanya ke beberapa hal saja. Pendidikan, Pengadilan, Kepolisian, Kepegawaian, Pertanahan, Perizinan, sebut saja. Banyak orang suka mengajaknya berdiskusi karena keluasan wawasan dan intelejensinya itu.

Dan, kesederhanaan juga kerendah-hatiannya meluluhkan. Dia ndak menempatkan dirinya tinggi meski orang banyak mengangkatnya. Ndak menjadi takabbur walau orang membesarkannya. Ndak menyebut jasa kendati orang memujinya. Memilih bahagia dengan memberikan kesempatan siapapun bisa berkembang dibanding naik dengan menginjak atau merendahkan orang. Dia ndak memilah sesiapa, baik tua maupun belia, untuk bergaul. Atau menjadikan satu dua orang sebagai favorit. Hampir semua merasa diistimewakan dengan ‘pelayanan’nya. Itulah mengapa banyak yang berderai melepasnya dari siang sampai sore ini.

Di atas semua itu, selepas petang atau malam-malam diskusi dan berbagi yang kami lalui, aku barangkali hanya senang karena merasa memiliki kakak tak sedarah. Dan kesedihan yang menyusup lahir di ujung ketukan keyboard ini sangat mungkin karena merasa akan kehilangan sosok itu…

See you soon, Mas Hoho..

Published by

Zain

An Anomalist

Leave a comment