Anak Bunda (Bagian 2: Eksperimen)

Menurut bundanya, Danish lebih ceriwis dibanding Daffa di usia yang sama (tengok cerita yang ini). Daffa baru mulai terlihat aktif ketika masuk usia 3 tahun. Tapi, sekalinya Daffa berbicara, keluar kalimat (pertanyaan atau pernyataan) yang unik. Seperti cerita yang ini.

Kakak (begitu sekarang gelar Daffa), sekarang sedang banyak bereksperimen. Mulai dari utak-atik notebook/laptop Bunda, Bu Guru, Yai, Ka Epi, atau Teh Ni. Kakak juga menggunting rambutnya sendiri, beberapa kali, tanpa sepengetahuan ayah atau bunda, karena melihat ada yang melakukannya di TV. Hasilnya tentu saja banyak bagian rambut kakak yang tidak berbentuk dan memancing cemberut Bunda. Terakhir, Kakak juga sedang getol bereksperimen di dapur.

Awalnya, karena sudah cukup lama aku dan Daffa ndak masak bareng, mudik puasa ini aku niatkan untuk melakukannya lagi. Aku langsung utarakan rencanaku pada Daffa yang kebetulan menyambutku yang baru datang. Aku bilang, “kita masak Pancake nanti sore ya, buat buka puasa.”

Kakak meloncat senang. Apalagi waktu kubilang pancake bisa ditambahi topping butir-cokelat-tabur, susu-kental-manis, kurma, atau es krim.

Kupaparkan bahan-bahannya dan sekedar bertanya apakah di warung bahan-bahan itu tersedia. Kakak bilang, beberapa bahan mungkin habis. Tidak kurang akal, kakak sigap berinisiatif menelepon mama (nenek) yang sedang berbelanja kebutuhan lebaran di Pasar Rau, Serang. Aku hanya tersenyum mengiyakan. Lalu meminta izinnya untuk menunaikan ibadah tidur siang terlebih dulu.

Sedang khusyuknya ‘beribadah’, Daffa berulangkali memaksa mataku terbuka hanya untuk bertanya; “Yai, berapa telornya?”, “Yai, menteganya dicampur, ?”, atau “Susunya pake yang bubuk, bukan, Yai?”

Semangat sekali si Kakak. Setengah sadar, setengah lelap, aku menjawab sekenanya sambil terus memintanya santai dengan mengatakan bahwa sore toh kami akan membuatnya bersama. Kalau masih ada bahan yang kurang, dan mama ndak keburu membelikan, nanti akan dicari di warung sebelah.

Kakak mengangguk, kemudian meninggalkanku untuk meneruskan ibadah yang terinterupsi.

Setelah merasa cukup istirahat dan berhajat mandi, aku mencari Daffa sambil mengumpulkan bahan-bahan. Aku minta izin Teh Salmah di dapur agar diperbolehkan menggunakan salah satu kompor untuk memasak menu ifthar bersama Daffa. Sembari sibuk ini-itu, Teh Salmah menggerutu panjang lebar. Soal Daffa yang sejak siang membuatnya repot dengan seabrek bahan dan kegiatan. Soal beberapa pekerjaannya yang sedikit tertunda karena ‘kesibukan-dapur’ Daffa itu sehingga persiapan berbuka terancam. Soal Daffa yang sekarang entah di mana.

Weleh, apa maksudnya sejak siang Daffa sibuk di dapur?

Daffa yang entah datang darimana, tiba-tiba berdiri di sampingku. Sontak aku memasang ap-seogi dan kihop sekencangnya sampai Teh Salmah keliru memasang selang gas pada keran air (Hehe…).

“Yai, kakak udah bikin pengkep-nya, tuh. Tapi angus.” Sambil menyeretku ke meja makan dan menunjukkan sepiring entah-apa yang gosong.

“Lho, kakak, kok, masak duluan? Kan, mestinya kita bikinnya sama-sama…” Aku kecewa, merasa dilangkahi, ditelikung.

Akhirnya, karena aku sudah terlanjur mengumpulkan tepung terigu, susu cair, telur, gula, garam, mentega, serta sirup, aku memancingnya kembali membuat pancake. Sepertinya Daffa juga masih semangat untuk menuntaskan eksperimennya. Pancake pun kami produksi. Kali ini, dengan mekanisme yang benar, prosedur yang layak, dan pengawasan Teh Salmah yang ketat.

Menu berbuka kami pun terhidang. Tepat beberapa menit sebelum adzan berkumandang.

Setelah memamah produk jadi kami, aku penasaran dengan masakan Kakak Daffa. Kucicipi secuil entah-apa yang gosong itu. Terkejut, karena menurutku, meski buruk rupa, rasanya tidak terlalu mengecewakan (ah, memang ndak boleh cuma menilai dari tampilan luarnya).

Paling tidak, untuk Daffa yang baru sekali ini membuatnya dan dengan tangannya sendiri. Ini jauh dari bayanganku. Karena terakhir kali kami masak bersama untuk menu nasi Goreng, yang dilakukan Daffa hanya menyalakan dan mematikan kompor, menuangkan kecap, mengambilkan piring, dan menghabiskan jatah telor-ceplokku.

Bunda bilang, sejak sering melihat acara memasak di TV, Daffa tidak jarang mencoba bereksperimen di dapur. Jadi, tidak heran kalau pada percobaan masaknya yang kesekian, rasanya mulai membaik. Mungkin, kata Bunda lagi, Kakak daffa ada punya bakat memasak, yang tentu saja diturunkan dari bundanya.

Sebelum bundanya makin narsis, aku menengok Daffa yang tahun ini sudah mulai puasa penuh. Setelah melepas emutan pada jempolnya sendiri, Daffa tersenyum lebar, dan memamerkan 2 gigi seri barunya yang putih.

Published by

Zain

An Anomalist

Leave a comment