Belajar ‘Matematika Semesta’

Hening. Dia menatapku beberapa jenak, aku dan ego-ku yang bertanya, sore itu…

“Zain tahu kalkulus?”

Ah, retoris.

Dia sudah tahu jawabannya. Dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata, aku yakin dia pun masih ingat pernah dengan emosinya membuatku tertunduk semakin malu. Dia mendapati nilai nol untuk ulangan matematika-ku di caturwulan 1 tahun 1999.

“Kamu jangan malu-maluin orang serang, nal. Kakak(kelas)-mu ini menang olimpiade matematika. Masa kamu dapat ulangan nol,” begitu ceramahnya di depan teman-teman seangkatanku dulu. Sebagian dengan nada humor, sebagian besarnya lagi serius.

Dan dia memang tak perlu menunggu jawabanku. Dia hanya menarik nafas sebelum meneruskan penjelasannya. Penjelasan atas jawaban dari sekian pertanyaanku sore itu.

“Dalam kalkulus dasar, dikenal bahasan tentang dunia bilangan. Dan Zain tahu, sebetulnya dalam dunia bilangan, hanya dikenal satu jenis bilangan saja; bilangan kompleks,” tuturnya. Perlahan, seperti menjelaskan rumus kepada anak SD.

Terus terang saja, meski aku sudah berstatus mahasiswa semester 3, tak pernah terlintas Continue reading Belajar ‘Matematika Semesta’

Bara

Ramadhan dan deras tabiknya acapkali membuat kita merasa ingin, perlu, harus memulai sesuatu yang baru. Dari titik nol dimana segala sesuatu menjadi amat mungkin.

Merasakan kembali menggenggam diri sendiri. Jujur. Lugu.

Merasakan lagi memiliki mimpi-mimpi dan mempercayai kekuatan nafsi. Gairah, dan energi.

Tidak jarang kita merasa takut memulai. Wajar. Sebab kita memang selalu takut dengan sesuatu yang ndak kita kenal. Yang ndak familiar dengan normalitas yang kita punya. Yang asing. Yang tak menjamin.

Untuk itulah harapan memberi bara. Menyuplai daya. Menuangkan sketsa dengan garis lembut dan pulasan cerah untuk meniadakan kecemasan dan rasa jeri.

Ramadhan, adalah saat terbaik. Yaitu saat dimana semua (yang mungkin) akan dimulai.

Selamat meranjak nafas-nafas baru, dan menghidupinya dengan jiwa yang ada…

Tomat

Tiap orang punya alasan suka atau benci sesuatu. Ketidaksukaanmu terhadap tomat adalah alasan yang ndak perlu didefinisikan. Mungkin soal perbedaan palate, atau ada hubungannya dengan rekam medismu, atau pengalaman traumatik. Atau apalah, biar saja. Ndak usah diperumit lagi.

Bisa jadi sama alasannya dengan–misalnya–tidak menyukai naik kereta.

Saat dering, ping, dan nada pesan masuk darimu juga menghilang selama 2 bulan lebih ini, juga pasti ada alasannya. Sayangnya, aku sulit membiarkannya begitu saja tanpa ingin mengetahui apa alasan di balik itu.

Ini lebih sulit dari meraba dan berasumsi soal alasan kenapa pula kau tiba-tiba menghubungiku kembali setelah 1 tahun berlalu tanpa kabar. Tiga bulan komunikasi yang intens via telpon dan pesan. Obrolan yang kian personal. Dan banyak hal-hal ndak penting lainnya untuk ditertawakan atau disalahpahami. Kita berpura-pura menjadi dewasa dengan saling memaklumi. Menekan ego masing-masing yang ndak pernah berhasil kita lakukan.

Lalu, 2 bulan yang lalu kau menghilang lagi. Kau tahu, apa yang ndak kusuka dari itu?

Sekarang aku harus menjaga jarak dengan kopi hitam.

Hoho

Sampai diskusi terakhir kami malam ini, aku katakan padanya bahwa aku belum sepenuhnya ikhlas dengan putusannya pindak ke daerah. Namun, aku tahu–dan masih kecewa berat karena–aku ndak akan bisa mencegahnya lagi. Yang sedikit membuat ringan hati, sehafalku, dia bukan profil yang mengambil keputusan tanpa menimbangnya dengan amat baik. Aku percaya, pasalnya pasti sudah sangat kuat.

Dia memang akhirnya menceritakan alasan di balik kepindahannya. Beberapa poinnya dia ulang dari percapakan kami dulu ketika pertama kutahu dia punya rencana pindah. Pada gilirannya, seperti beberapa hal yang juga jamak kami obrolkan, kami ndak mesti selalu setuju. Kami juga bisa sepakat untuk ndak sepakat. Meski, sekali lagi, itu ndak melunturkan rasa hormatku padanya.

Seperti banyak petang atau malam yang kami (atau tepatnya aku ‘memaksa’nya tinggal lebih lama untuk) habiskan jika kebetulan kami sama-sama pulang agak larut, kami nikmati lagi petang hingga malam ini di ruangannya untuk diskusi atau ngobrol dan bercanda tentang banyak hal. Tentunya sehabis dia selesai melayani teman-teman lain yang sendiri atau berkelompok mengekspresikan kegundahan mereka. Ya, pastinya aku bukan satu-satunya di kantor ini yang akan merasakan kehilangan.

Dibanding hal lainnya, mungkin aku akan paling merindukan Continue reading Hoho

Syahid

Maghrib baru saja tergelincir. Ada musholla tak jauh dari rumahnya dan aku shalat di sana. Setelah memarkir kendaraan dan sembahyang, aku sebentar menunggu di teras rumahnya. Lalu ia keluar menemuiku dengan bersarung. Kacamatanya melorot khas. Di tengah keremangan lampu teras, sosoknya terlihat lebih tua dibanding usianya yang hanya terpaut 2 tahun saja dariku. Di rambut, kumis, dan janggutnya yang tipis bercorak beberapa helai uban penanda zaman.

Tak kutemukan binar yang biasa ada di matanya. Kehidupan seakan meredup.

Ba’da uluk salam, aku langsung memeluknya untuk sekedar berempati atas ujian yang tengah ia lalui. Dan memohon maaf untuk amat sangat terlambat menemuinya karena alasan klise; sebab satu dan lain hal. Rasa bersalahku terhapus dengan kebesaran jiwanya yang tak juga berkurang dengan tambahan beban yang sulit terukur beratnya itu.

Kami duduk. Aku mengambil posisi dekat dan berhadapan. Ingin meyakinkannya bahwa Continue reading Syahid

Senandika Negeri Jingga (Palet 1)

Aku masih ingat, betapa kau sangat menyukai cerita. Sampai-sampai satu hal yang diminta dariku saat kau pulang nanti adalah hadiah buku-buku cerita. “Apa saja. Pokoknya Yumna suka buku cerita,” Ujarmu dengan keceriaan yang meluap.

Senyumku tak berhenti mengembang. Ia pernah memantul tepat pada saat aku ditanya, “Kualitas apa yang anda punya untuk mendukung keikutsertaan anda dalam pelatihan ini?” Jawabanku singkat dan pasti; “I love stories!!”

Ya, aku juga menyenangi cerita. Mendengarkannya, membacanya, merasakannya, menyelaminya, memerankannya, kadang ikut tersesat di dalamnya. Seperti menjelajahi dunia-dunia yang tak dikenal sebelumnya.

Semoga perasaan kita sama. Sebab, untuk itulah aku bercerita untukmu kali ini.

Mint

Di sudut ruangan itu. Di ruangan dengan warna dan aroma mint. Rak-rak buku yang rajin kau rapihkan hingga debu enggan berlama-lama singgah. Dua buah bingkai dengan foto terbaru. Sepasang vas yang selalu segar di samping jendela.

Aku memandangmu yang tengah khidmat menulis di laptop merah jambu kesayanganmu. Beberapa buku menemani kulihat dari balik kiri bahu. Satu kakimu kau lipat naik di kursi. Lainnya menggantung bebas kau biarkan. Posisi kesukaanmu.

Kau pasti tak mendengar suara kunci dan pintu kubuka.  Atau salam yang kuucapkan tidak terlalu keras. Suara sepatu dan tas yang kuletakkan sembarang (kau akan kesal begitu mengetahuinya).

Bahkan kau tak sadar ketika kuambil air dari dispenser dengan aksesoris renda buatan bibimu. Apalah. Kuobati sendiri dahagaku dengan 4,5 teguk air dingin.

Sepasang earphone memisahkan kau sejenak dengan dimensi yang kini kuhuni bersama sekira 6 milyar manusia lainnya. Ah, bukan. Bukan earphone-nya. Pasti alunan The Corrs-nya.

Meski yang kudengar hanya ketukan ritmis tuts keyboard yang kau mainkan, aku yakin kau tengah menyimak band favoritmu sejak dulu itu. Andai aku meleset, pasti kau tengah memutar berulang-ulang ‘victory’ milik BOND. Begitu caramu membuat lesatan ide yang datang diikat satu per satu. Disusun dan ditata dengan manisnya oleh jari-jarimu yang lentik.

Setelah selesai, kau akan memintaku untuk membacanya sambil setengah rela. Karena, kalau aku terlalu banyak berkomentar, kau akan ngambek. Kalau aku tak berkomentar, kau akan marah. Ah. Lalu aku harus memasak sesuatu untukmu agar kita bisa berdamai kembali.

Aku memandangmu yang tampak tak terganggu dengan keberadaanku. Dahagaku memang sudah lenyap, tapi aku masih kehausan. Kali ini bukan air, sayang, yang bisa menjadi tombo.

Mint. Kau tahu aku suka sekali aroma itu. Dan nampaknya kau pun menyukainya. Entah sejak kapan. Lalu kau setuju kita tanam beberapa di dalam rumah. Kita tumbuhkan sebisanya. Kita jaga semampunya.

Kuajarkan kau bagaimana cara mengeluarkan aroma mint. Kita taruh daunnya di telapak tangan. Lalu, dengan ibu jarimu kau gerus daun itu perlahan. Dan mint akan melahirkan harum yang menyegarkan. Relaks, tapi berenergi.

Kali ini tentu earphone-mu tak akan sanggup mencegah kau kembali ke dimensi yang sama denganku. Karena ia tak menjangkau indra penciumanmu.

Lihatlah, kudengar hidungmu mendengus. Kau mulai mencium aroma mint yang menguat serentak. Gerakan jarimu melambat dan kemudian berhenti. Kakimu yang terlipat di kursi kau turunkan. Aku memasang pose dan senyum terbaik yang kupunya. Sebab, seperti yang kuduga, kau akan berbalik dan mendapatiku berdiri di sini.

Sayang, kau tahu apa menyingkirkan hausku kini? Senyum dan pelukan tubuhmu yang dibalut mint.

Mint

Di sudut ruangan itu. Di ruangan dengan warna dan aroma Mentha Cordifolia. Rak-rak buku yang rajin kau rapihkan hingga debu enggan berlama-lama singgah. Dua buah bingkai dengan foto terbaru. Sepasang vas yang selalu segar di samping jendela.

Aku memandangmu yang tengah khidmat menulis di laptop merah jambu kesayanganmu. Beberapa buku menemani kulihat dari balik kiri bahu. Satu kakimu kau lipat naik di kursi. Lainnya menggantung bebas kau biarkan. Posisi kesukaanmu.

Kau pasti tak mendengar suara kunci dan pintu kubuka.  Atau salam yang kuucapkan tidak terlalu keras. Suara sepatu dan tas yang kuletakkan sembarang (kau akan kesal begitu mengetahuinya).

Bahkan kau tak sadar ketika kuambil air dari dispenser dengan aksesoris renda buatan bibimu. Apalah. Kuobati sendiri dahagaku dengan 4,5 teguk air dingin..

***

Sepasang earphone memisahkan kau sejenak dengan dimensi yang kini kuhuni bersama sekira 6 milyar manusia lainnya. Ah, bukan. Bukan earphone-nya. Pasti alunan The Corrs-nya.

Meski yang kudengar hanya Continue reading Mint

Gampang

Saya ndak bermaksud menggampangkan ibadah. Mudah-mudahan tidak. Ceteknya ilmu seringkali membuat saya berpikir bahwa untuk mempengaruhi orang, saya perlu memberikan contoh ekstrim.

Ide yang ingin disampaikan sebetulnya sederhana. Amal dan ilmu selayaknya bersatu. Akhirat dan dunia sepatutnya tak dipisahkan. Integritas. Konsistensi.

Saya ndak suka, tidak juga ingin menjadi, dan semoga bukan orang yang suka memisah-misahkan keduanya. Menyempurnakan amal dengan sangat hati-hati, namun sengaja ceroboh untuk mengakali nurani. Keras dengan syari’at sampai mesti hitam dan putih, tapi lunak dan meretas wilayah abu-abu yang masih menguntungkan pribadi. Acchh, semua memang soal menyikapi ihwal materi.

Terhadap beberapa orang yang saya temui berkelakuan seperti itu, saya geram sekali. Sering tak bisa menahan emosi dan mengumpat-ngumpat seolah-olah saya sendiri tak pernah melakukannya.

'Dua Muka'

Apalagi kepada sejumlah orang yang senang sekali sengaja menamengi diri dengan pelbagai simbol (fashion, gesture, bahasa, dsb.). Untuk menandakan dirinya berada di golongan tertentu yang identik dengan perilaku jujur serta berbudi pekerti. Akan tetapi, lagi-lagi, pura-pura tak acuh saja mendapati dirinya ‘terpeleset’ melakukan kebusukan elementer. Pada lubang yang sama. Berkali-kali (seperti) dengan sengaja.

Seakan dungu dan tak pernah diajari membedakan mana kebenaran mana ‘kebaikan’ belaka olah guru-gurunya.

Hipokrit.

Baginda Rasulullah SAAW rasanya pernah mengingatkan betapa bahayanya golongan munafik. Yang lebih sulit diperangi karena ia berbulu domba seperti kawanannya. Yang lebih susah diberantas sebab ia tak menggunakan serangan fisik untuk melumpuhkan atau melukai. Yang lebih alot dibasmi lantaran ia pandai menyusup di antara para penegak nurani. Yang lebih sukar ditangkal akibat acapkali kita sengaja menyediakan bilik abadi untuknya menetap atau kembali mengunjungi hati. Ya, kita kerap memberikan suaka dan perlindungan juga untuknya saat ia datang menenteng kepentingan kita.

Dan saya betul-betul khawatir berbaur pilu mengingat betapa saya dan rasanya masih banyak juga saya-saya lainnya yang berkelakukan seperti itu. Saya khawatir tak kunjung sembuh. Saya khawatir pada akhirnya tak pernah bisa berkontribusi pada perbaikan apapun yang saya idamkan. Saya khawatir Allah timpakan Istidraj dengan membiarkan kami bersenang-senang dengan kenduri hipokrasi kami.

Lalu, kepandiran saya membuat saya memutuskan untuk membuat polaritas yang keras agar orang mudah menoleh kepada apa yang ingin saya sampaikan. Menyadari benih kemunafikan yang saya miliki, lalu tunas milik mereka sendiri juga, kemudian bersedia bersama-sama lebih berhati-hati. Semoga saja.

(Atau, Gusti, ajarkan aku lagi untuk lebih arif dan rendah hati…)

Duduk

Buat Yumna #4

Ramadhan 3, 1436 H

Kak, duduklah sebentar di sini. Bacakan surat untukku. Ya, ada yang kabarnya mencintaiku. Dan aku pura-pura tak acuh.

Oh ya, mungkin dirimu dan aku sudah mengenalnya sekilas lalu. Tapi, bacalah saja dulu. Barangkali ada petunjuk tambahan di situ jika kita cari tahu.

Kak, duduklah di sini bersamaku. Bacalah surat atas namaNya itu..